Senin, 04 Juli 2011

Dikotomi Ilmu Pengetahuan

BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Dikotomi ilmu pengetahuan merupakan wacana yang selalu di apungkan dalam dunia pendidikan Islam sampai dewasa ini. Islam menganggap ilmu pengetahuan sebagai sebuah konsep yang holistsis, dalam konsep ini tidak terdapat pemisahan antara pengetahuan dengan nilai-nilai[1].
Selanjutnya apabila dikaji lebih lanjut bagaimana Islam memandang ilmu pengetahuan, maka akan ditemui bahwa Islam mengembalikan kepada fitrah manusia tentang mencari ilmu pengetahuan. Hal ini dapat diketahui ketika al-quran berbicara tentang bagaimana penciptaan manusia, yang semula hanya berupa sperma dengan ovum, yang kemudian menjadi segumpal darah dan pada akhinya terbentuklah sosok manusia yang sempurna, ketika al-Qur’an berkata iqra’ dan juga ketika al-Qur’an bercerita tentang penciptaan bumi dan langit serta pertukaran siang dan malam. Kesemuanya itu menurut penulis merupakan sebuah indikasi bahwa sumber dari segala ilmu berasal dari Islam.
Sejarah telah mencatat masa kegemilangan diraih oleh oleh kerajaan Islam seperti abbasiyah dan mua’wiyah dibagdad dan di spanyol. Periode tersebut telah melahirkan banyak tokoh muslim seperti imam Malik, Imam Syafi’I, Abu Hanifah, Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina dan sebagainya.
Rentetan sejarah mengungkap bahwa ternyata para ilmuan tersebut tidak pernah memisahkan akan ilmu pengetahuan dengan agama. Ilmu pengetahuan dan agama mereka pahami sesuatu yang bersifat totalitas dan integral. Ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari agama itu sendiri. Bahkan menurut penulis ilmu pengetahuan tersebut bersumber dari agama. Argumen penulis dalam hal ini sederhana saja yakni karena Islam memiliki kitab yang memuat ilmu pengetahuan yang komprehensif dan sempurna. Hanya saja untuk pengembangan lebih lanjut diperlukan usaha yang dalam untuk mengungkap ilmu tersebut.
B.  RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas, makalah ini mencoba mengungkap tentang sekelumit :
1.      Bagaimana konsep Islam tentang ilmu pengetahuan.
2.      Sejarah timbulnya dikotomi ilmu pengetahuan.
3.      Penolakan Islam terhadap dikotomi ilmu pengetahuan, serta
4.      Bagaimana menginintegrasikan kembali ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.

BAB II
PEMBAHASAN
A.  KONSEP ISLAM TENTANG ILMU PENGETAHUAN
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam , hal ini terlihat dari banyaknya ayat Al-qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulya disamping hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu.
Didalam Al qur’an, kata ilmu dan kata-kata jadianya di gunakan lebih dari 780 kali, ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari Al-qur’an sangat kental dengan nuansa-nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dari agama Islam.
Allah SWT berfirman dalam Al-qur’an surat Al Mujadalah ayat 11 yang artinya:
“Allah meninggikan baeberapa derajat (tingkatan) orang-orang yang berirman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi ilmu pengetahuan).dan Allah  maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Ayat di atas dengan jelas menunjukan bahwa orang yang beriman dan berilmu akan menjadi memperoleh kedudukan yang tinggi. Keimanan yang dimiliki seseorang akan menjadi pendorong untuk menuntut Ilmu ,dan Ilmu yang dimiliki seseorang akan membuat dia sadar betapa kecilnya manusia dihadapan Allah, sehingga akan tumbuh rasa kepada Allah bila melakukan hal-hal yang dilarangnya, hal ini sejalan dengan fuirman Allah:
“sesungguhnya yang takut kepada allah diantara hamba –hambanya hanyaklah ulama (orang berilmu) ; (surat faatir:28)
Salah satu wahana menambah ilmu, menjadi sangat penting, dan islam telah sejak awal menekankan pentingnya membaca, sebagaimana terlihat dari firman Allah yang pertama diturunkan yaitu surat Al-Alaq ayat 1 sampai dengan ayat 5 yang artinya:
“bacalah dengan meyebut nama tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan Kamu dari segummpal darah . Bacalah,dan tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia ) dengan perantara kala. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui.”
Ayat-ayat trersebut, jelas merupakan sumber motivasi bagi umat islam untuk tidak pernah berhenti menuntut ilmu,untuk terus membaca, sehingga posisi yang tinggi dihadapan Allah akan tetap terjaga, yang berarti juga rasa takut kepeada Allah akan menjiwai seluruh aktivitas kehidupan manusia untuk tetap  melakukan amal shaleh.
Dari ketegasan makna ayat-ayat di atas, maka dapat dipahami bahwa ternyata Islam tidak pernah mengdikotomikan ilmu pengeatahuan dan agama. Ilmu pengetahuan dan agama merupakan sesuatu hal yang harus dipahami sebagai suatu yang totalitas dan integral yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dan pada intinya dalam konsep islam tidak terdapat pemisahan pengetahuan dengan nilai-nilai agama.
Selanjutnya Ziauddin Sardar mengemukakan sebuah artikulasi terbaik mengenai epistimologi ilmu pengetahuan yang diperolehnya dalam kitab pengetahuan karya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (1058-1111). Al-ghazali seorang guru besar dari universitas Nizhamiyah Bagdad. Al- ghazali mengemukakan ilmu pengetahuan berdasarkan tiga kriteria[2]:
1.    Sumber
a.       Pengetahuan yang diwahyukan; pengetahuan ini diperoleh khuasus oleh para nabi dan rasul. Manusia memiliki keharusan untuk mengikuti pengetahuan yang terdapat pada wahyu yang diturukan kepada Nabi dan Rasul-Nya.
b.      Pengetahuan yang tidak diwahyukan; sumber pokok dari ilmu pengetahuan Ini adalah akal, penngamatan, percobaan, dan artikulasi (penyesuaian).
2.    Kewajiban-kewajiban
a.       Pengetahuan yang diwajibkan kepada setiap orang (fardhu al-‘ain); pengetahuan yang penting sekali umtuk keselamatan seseorang, misalnya etika sosial, kesusialaan dan hukum sipil.
b.      Pengetahuan yang diwajibkan kepada masyarakat (fardhu al-kifayah): yaitu pengetahuan yang penting sekali untuk keselamatan seluruh masyarakat misalnya pertanaian, obat-obatan, arsitektur dan teknik mesin
3.    Fungsi sosial
a.       Ilmu-ilmu yang patut dhargai yaitu ilmu-ilmu sains yang berguna dan tidak boleh diabaikan karena segala aktivitas hidup ini tergantung padanya.
b.      Ilmu-ilmu yang patut dikutuk; astrologi, magig, berbagai ilmu yang tidak bermanfaat.
Dari kerangka keilmuan di atas dapat dipahami bahwa antara agama dan sains tidak berdiri sebagai dua buah kultur yang saling berpisah tapi merupakan sesuatu yang integral.
Pertentangan ilmu pengetahuan dengan agama terjadi pada abad pertengahan, setelah pelajar Yunani dari Konstatinopel ke Eropa. Sehingga terjadilah rasa permusuhan dan jurang pemisah antara ilmu pengetahuan dan agama.
B.  SEJARAH TIMBULNYA DIKOTOMI ILMU PENGETAHUAN
Dikotomi ilmu pengetahuan merupakan sebuah paradigma yang selalu marak dan hangat diperbincangkan dan tidak berkesudahan. Adanya dikotomi pengetahuan ini akan berimplikasi kepada dikotomi pendidikan itu sendiri. Ada pendidikan berkecimpung pada ilmu pengetahuan modern yang jauh dari nilai-nilai agama, Ada pula pendidikan yang hanya konsen pada pengetahuan agama yang kadanngkala dipahami dengan penuh dengan kejumudan serta jauh dari ilmu pengetahuan. Memberikan implikasi yang jelek terhadap pendidikan agama itu sendiri. Secara teoritis dikotomi pendidikan adalah pemisahan secara teliti dan jelas dari satu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu tidak dapat dimasukan kepada yang lainnya, atau sebaliknya.
Berangkat dari definisi di atas dapat diartikan bahwa makna dikotomi adalah pemisahan suatu ilmu menjadi dua bagian yang satu sama lainnya saling memberikan arah dan makna yang berbeda dan tidak ada titik temu antara kedua jenis ilmu tersebut.
Dilihat dari kaca mata Islam, jelas sangat jauh berbeda dengan konsep Islam tentang ilmu pengetahuan itu sendiri karena dalam Islam ilmu pengetahuan dipandang dengan sesuatu yang utuh dan integral.
Dewasa ini, bila dicermati para ilmuan cenderung memisahkan (dikotomi) antara ilmu agama dengan ilmu keduniaan. Sehingga hal inilah yang mendorong Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi untuk mendengungkan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan[3].
Al-Faruqi mengungkapkan sebagaimana yang kutib oleb Samsul Nizar dan Ramayulis zaman kemunduran Islam telah membawa umat Islam berada di anak tangga-tangga bangsa-bangsa yang terbawah. Di samping itu al-Faruqi juga mengatakan bahwa ilmu tidak bebas nilai akan syarat dengan nilai. Mensikapi perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan adalah cukup dengan mengislamisasikan ilmu tersebut tidak perlu orangnya. Tujuannya adalah agar yang mempelajari ilmu tersebut bisa terpola lansung pemikiran dan tingkahlakunya. Untuk mengislamisasiakan ilmu pengetahuan, jalan yangharus dilakukan adalah 1) menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai landasan dalam berpikir, 2) melakukan pencarian terhadap ilmu-ilmu modern, 3) lakukan pendekatan filsafat dalam ilmu pengetahuan.
Disisi lain, masyarakat muslim melihat akan kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Konsekwensinya adalah kaum muslim terkontaminasi oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi, dan ternyata westernisasi telah menjauhkan umat Islam dari al-Qur’an dan Sunnah. Sesungguhnya sesuatu yang sangat dilematis apabila ingin maju dengan meniru cara dan gaya Barat tetapi justru yang didapatkan adalah kehancuran. Semuanya disebabkan ketidakmampuan menfilter dari apa yang diadopsi dari Barat tersebut.
Dalam pengamatan penulis, setelah memahami berbagai literatur ternyata timbulnya membawa pada kesimpulan bahwa akar munculnya dikotomi ilmu disebabkan  Pertama, faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya. Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya filsafat, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum kian jauh. Proses Rekontruktivisme tersebut adalah bahwa apa yang dilakukan al-Ghazali terhadap filsafat dan apa yang dibantah oleh Ibn Rusdy, dan apa yang dipahami masyakat awam terhadap polemik tersebut sesungguhnya merupakan bagian rekonstruksi ilmu dan juga apa yang dilakukan oleh Barat dalam merekonstri ilmu telah memperdalam terjal terhadap pemahaman akan dikotomi ilmu pada masyarakat umumnya.
Kedua, faktor historis perkembangan umat islam ketika mengalami masa stagnan atau kemunduran sejak Abad pertengahan (tahun 1250-1800 M), yang pengaruhnya bahkan masih terasa samapai kini atau meminjam istilah Azra hal ini disebabkan karena kesalahan sejarah (historical accident). Pada masa ini, dominasi fuqaha dalam pendidikan Islam sangatlah kuat, sehingga terjadi kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau kewajiban individu, sedangkan ilmu umum termasuk fardlu kifayah atau kewajiban kolektif. Akibat faktor ini, umat dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK) bila dibandingkan dengan umat dan Negara lain. Ketiga, faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam.
 Setidak-tidaknya menurut penulis ilmu pengetahuan itu ada dua. Pertama terbagi akan tiga yakni:
1. Ilmu Alam (Natural Science)
2. Ilmu Sosial (Social Science)
3. Ilmu Agama
Pendapat kedua, berpendapat bahwa ilmu pengetahuan itu dibagi dua yakni;
1. Natural Science
2. Natural Social
Untuk ilmu agama dimasukan atau dikelompokan ke dalam social science. 
Akibat dari lahirnya ilmu-ilmu (kalau yang bisa disebut dengan ilmu, atau bidang ilmiah), maka selanjutnya terjadilah dikotomi ilmu dan agama sebagaimana dikemukakan diatas.  Ilmu-ilmu alam dan, sosial dan humaniora dikelompokkan sebagai ilmu umum, bahkan dari sudut pandang konvensional ilmu ini diklaim sebagai ilmu sekuler. Sebaliknya, ilmu ushuluddin, ilmu tarbiyah, ilmu dakwah, ilmu syariah, ilmu adab dikelompokkan kedalam ilmu agama (islam). Semakin lama, dikotomi ilmu semakin kukuh[4].
Demikianlah bila dicermati perkembangan rekonstruksi ilmu pengetahuan yang menyebabkan dengan sendiri melahirkan terjadinya dikotomi pendidikan.
C.  PENOLAKAN ISLAM TERHADAP DIKOTOMI ILMU PENGETAHUAN
Berbeda dengan Barat, yang senantiasa bersifat dikotomis dalam memperoleh kebenaran pengetahuan, merupakan cara terbaik. Namun, bagi dunia Islam bisa mengandung bahaya. Pandangan dikotomi dapat mengancam realisasi Islam dalam kehidupan pribadi dan kebersamaan bermasyarakat, bahkan dikhawatirkan mendistorsi syari’ah. Akibat yang dirasakan di dalam masyarakat ilmu, seni, dan teknologi adalah menjadi wajarnya pendapat yang berpendirian ilmu, seni, dan teknologi adalah bebas nilai. Oleh karena itu, ilmu berkembang tanpa arah yang jelas dari perspektif kesejahteraan umat manusia. Apa pun keadaan yang menjadi konsekuensi dari ilmu, seni, dan teknologi tidak pernah mereka perhatikan. Bahkan kehancuran umat manusia sekalipun tidak dihiraukan, sebab ilmu, seni, dan teknologi tidak mengemban misi untuk menyelematkan manusia dari kehancuran.
Mungkin saja kehancuran manusia mendapatkan pengesahan dan toleransi bagi para ilmuan, asalkan masih ada temuan-temuan baru apapun bentuknya untuk mengembangkan sains dan teknologi yang makin modern. Di Negara-negara maju, para ilmuan seperti berlomba mengembangkan sains dan teknologi yang mempunyai potensi destruktif sangat tinggi bukan saja terhadap komunitas lain, melainkan juga terhadap komunitasnya sendiri, karena masing-masing Negara maju menyimpan potensi yang membahayakan keselamatan umat manusia secara keseluruhan. Bisa dibayangkan jika saja beberapa negara maju terlibat perang dengan menggunakan kemampuan senjata dan rudal andalannya, hampir bisa dipastikan hancur lah dunia ini.
Dikotomi antara sains “keislaman” dan sains “umum/rasional”, memiliki konsekuensi yang fatal bagi cara berpikir kaum muslimin. Dengan begitu mereka biasa berpikir untuk memisahkan secara antagonistis antara sains “keislaman’ dan sains “umum/raisonal”. Dalam pemikiran mereka akan tertanam kuat bahwa sains “keislaman” berdasarkan wahyu, dogma, dan doktrin ajaran Islam semata yang tidak rasional, bahkan cenderung irasional. Sedangkan sains “umum/rasional” adalah sains yang dikonstruk berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasio semata, sehingga mengesampingkan nilai-nilai relegius. Dengan begitu, maka sains “keislaman” cenderung sains yang anti rasio, sedangkan sains “rasional” cenderung sains yang anti agama (dalam hal ini Islam). Padahal sains “keislaman” tidak hanya melibatkan pertimbangan-pertimbangan rasional, tetapi sekaligus supra rasional[5]
Akibat yang lain adalah tersosialisasikan adanya pembelahan antara ilmu pengetahuan umum dan agama. Pengetahuan umum di samping pengetahuan yang mencakup berbagai disiplin dan bidang kehidupan manusia secara kompleks dan plural, juga dimaksudkan sebagai ilmu yang tidak ada kaitan sama sekali dengan agama. Sedangkan ilmu pengetahuan agama dimaksudkan sebagai ilmu pengetahuan yang terbatas bahasannya pada persoalan-persoalan akidah, ibadah, dan akhlak semata. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan agama adalah ilmu pengetahuan yang wilayah bahasannya terbatas pada keimanan, ritual, dan ethik.
Selanjutnya Umat Islam akan mengalami salah paham terhadap Islam sendiri. Agama Islam yang seharusnya memiliki ajaran yang universal, ternyata disalahpahami, sehingga dianggap hanya memiliki ruang gerak pranata kehidupan yang sempit sekali. Oleh karena itu, pembagian pengetahuan yang bersifat dikotomis itu, tentu tidak diterima oleh Islam, karena berlawanan dengan kandungan ajaran Islam sendiri. Jika ini terjadi terus-menerus, maka akan menjadi malapetaka bagi masa depan umat dan peradaban Islam, sehingga harus ada usaha keras untuk meluruskannya dalam perspektif Islam.
Dalam konteks pendidikan Islam, dunia dalam pembahasan di sini tentu memiliki spectrum yang tidak sempit dan tidak dikotomis, yakni segala fasilitas untuk kepentingan pendidikan Islam, termasuk akal, alam, bumi, langit, dan alam sekitar. Mengutip Hassan Hanafi, menyebutkan bahwa dalam masyarakat tradisional (termasuk Umat Islam dewasa ini), norma dan sumber pengetahuan hampir tidak ada yang diperoleh dari akal dan alam. Sebaliknya masyarakat modern yang sekuler memperoleh sumber kebenaran dari dua fasilitas tersebut. Dalam hal ini, sebenarnya Hassan Hanafi ingin mengatakan bahwa ajaran dasar Islam sesungguhnya tidak mengenal dikotomi itu, tetapi memilki watak dasar menjembatani dua gep tersebut[6].
D.  INTEGRASI ILMU DAN AGAMA
Wacana tentang integrasi ilmu dan agama sudah berlangsung cukup lama. Meski tidak selalu kata yang digunakan adalah kata “integrasi”, namun secara eksplisit dikalangan muslim saat ini sangat menginginkan adanya pemaduan antara ilmu dan agama. Cukup populer juga dikalangan muslim, yang berpandangan bahwa pada masa kejayaan sains dalam peradaban islam, ilmu dan agama telah terintegrasi, atau sudah menjadi satu kesatuan.
Berbicara tentang  peintegrasian ilmu, sebelumnya marilah kita melihat dalam Al-quran  kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. ‘Ilm dari segi bahsa berarti kejelasan, karena itu segala yang berbentuk dari akar katanya mempunyai arti kejelasan. perhatikan misalnya kata ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘a’lam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat), dan sebagainya. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun demikian, kata ini berbeda dengan ‘arafa (mengetahui), a’rif (yang maha mengetahui) , dan ma’rifah (pengetahuan)[7]. Sehingga wajarlah dari penjelasan diatas Islam agama yang rahmat untuk seluruh alam tidak pernah membedakan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Jadi, ilmu agama dan ilmu umum adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Namun pada kenyataannya, ilmu agama dan umum sudah lama terdikotomi yang sampai-sampai menyebabkan tergesernya peradaban islam di dunia. Bahkan sampai saat ini, masalah dikotomi ilmu ini justru kian kukuh, yang pada akhirnya umat islam akan sadar bahwa mereka tertinggal dengan umat lainnnya karena selama ini umat islam hanya menngarap ilmu agama saja. Umat islam menjadi tersadarkan bahwa untuk membangun sebuah peradaban yang maju dan lanngeng diperlukan berbagai bentuk rekayasa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Disinilah umat islam perlu menacari cara bagaiman mengembalikan ilmu agama dan ilmu umum menjadi sebuah kesatuan yang utuh (holistis). Cara yang harus dilakukan adalah integrasi atau lebih populer dengan islamisasai.
Pemegang hadiah nobel bidang fisika, Muhammad Abdus Salam menyatakan dengan tepat bahwa tidak diragukan saat ini diantara seluruh peradaban di planet ini, ilmu pengetahuan menempati posisi yang paling lemah di Dunia islam. Menurut pendapatnya, bahaya kelemahan ini nyata sekali sejak kelangsungan hidup terhormat sebuah masyarakat bergantung secara langsung pada penguasaan ilmu dan teknologi yang berkembang masa kini[8]. Tentu melihat pendapat tersebut umat muslim harus sadar diri dan segera menyelesaikan masalah dikotomi ilmu tersebut, agar islam kembali mermegang kendali sains di seluruh dunia.
Menurut Imadudin Khalil Islamisasi ilmu penngetahuan berarti melakukan suatu aktivitas keilmuan seperti mengungkap, mengumpulkan, menghubungkan dan menyeberluaskannya menurut sudut pandang Islam terhadap alam, kehidupan dan manusia. Sedangkan menurut al-Faruqi Islamisasi ilmu pengetahuan adalah mengislamkan disiplin-disiplin ilmu atau lebih tepat menghasilkan buku-buku pegangan pada level universitas dengan menuangkan kembali disiplin disiplin ilmu modern dengan wawasan (vision) Islam. Dengan demikian, disiplin ilmu yang diislamisasi tersebut benar-benar berlandaskan prinsip islam dan tidak merupakan pengadopsian ilmu begitu saja dari barat yang bersifat sekuler, materialistis, rasional empirik yang banyak bertentangan dengan nilai-nilai islam.[9]
Untuk memecahkan persoalan itu, sesungguhnya masih ada jalan keluar yang tidak terlalau rumit. Menurut hemat saya, untuk menghilangkan dikotomi itu dapat ditempuh dengan cara memosisikan sumber ajaran islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-hadits bukan pada wilayah berbeda dari wilayah ilmu pengetahuan sebagaimana yang terjadi selama ini[10]. Al-Qur’an dan Al-hadits seharusnya tidak perlu dikembangkan dengan ilmu-ilmu agama, tetapi sumber ajaran islam itu diposisikan sebagai sumber ilmu.
Umat islam dalam memahami jagat raya dan kehidupan ini, mengenal apa yang disebut dengan ayat-ayat Qauliyah, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari kitab suci Al-Qur’an dan hadits, dan ayat-ayat kauniyyah, yaitu pengetahuan tentang jagat raya dan kehidupan ini yang bersumber dari hasil observasi dab eksperimen. Kedua hal tersebut hasus berjalan searah dan berdampingan tanpa harus terjadi pengotak-ngotakan antara keduanya.
Barang kali, ini dapat dipahami dengan menyimak pandangan Fritjof Capra: “Sains tak membutuhkan mitisisme dan mitisisme tak membutuhkan sains, akan tetapi manusia membutuhkan keduanya”.[11]
BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan dari paparan makalah ini adalah Sejarah dikotomi tersebut sudah dimulai sejak abad pertengahan atau masa kemajuan Islam periode Abbasiyah. Dalam Islam sesungguhnya tidak ada pemilahan ilmu pengetahuan dan agama. Ilmu pengetahuan dan ilmu agama adalah merupakan sesuatu yang integral. Bila ilmu disikapi dengan dikotomi maka tentu akan melahirkan pemikiran yang berbeda dalam membangun peradaban dunia, namun bagaimana mengintegralkan dikotomi pengetahuan tersebut.
Munculnya dikotomi dalam masyarakat muslim tidak lebih dari terkontaminasinya kaum muslim terhadap kemajuan Barat dan ketidakmampuan kaum muslim memfilter dalam reformasi. Berikutnya ketidakmampuan kaum muslimin meyakin dangan segala action terhadap dunia bahwa sumber segala ilmu adalah al-Qura’an dan Sunnah sebagai kitab suci yang diyakininya.
Di Samping itu, Barat semenjak dahulu telah mencoba merekontruksi berbagai konsep ilmu sebagai bentuk kemajuan mereka dalam bidang sains. Benar atau tidaknya sesungguhnya Barat dengan segala kemajuan ilmunya mencoba melihatkan kepada dunia Islam bahwa tanpa al-Qur’an dan Sunnah Rasul pun mereka bisa maju dalam membangun peradaban dunia. Konsep yang ditawarkan dalam mensikapi dikotomi ini adalah apa yang yang disebut oleh al-Faruqi dengan Islamisasi ilmu yakni proses filterisasi terhadap ilmu-ilmu yang dikembangkan Barat dengan landasan atau disesuaikan dengan al-Qur’an dan Sunnah.

DAFTAR PUSTAKA
Mas’ud, Abdurrahman. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Yogyakarta: Gama Media. 2002
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Ummat (Cet. XVII: Bandung: Mizan, 2007),
Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Kencana, 2007
Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga, 2005
Zainil Abidin Bagir, dkk, Integrasi Ilmu dan Agama, Interpretasi Ilmu dan aksi, Bandung: Mizan, 2005

[1] Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Kencana, 2007, hlm. 227
[2] Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 229
[3] Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 231
[4] Zainil Abidin Bagir, dkk, Integrasi Ilmu dan Agama, Interpretasi Ilmu dan aksi, Bandung: Mizan, 2005, Hlm. 223
[5] Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga, 2005. Hlm
[6] Mas’ud, Abdurrahman. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Yogyakarta: Gama Media. 2002. Hlm. 56
[7] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Ummat (Cet. XVII: Bandung: Mizan, 2007), hlm.. 434-435
[8] Zainil Abidin Bagir, dkk, Integrasi Ilmu dan Agama, Interpretasi Ilmu dan aksi, hlm. 203
[9] Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 235
[10] Zainil Abidin Bagir, dkk, ibid, hlm. 224
[11] Ibid, Hlm.96

Minggu, 22 Mei 2011

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-GHOZALI VS PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA


A.    Pendahuluan
Pendidikan telah menjadi bagian penting dalam membangun dan membentuk karakter sebuah bangsa. Memposisikan pendidikan sebagai elemen vital dalam masyarakat multidimensi seperti Indonesia, adalah sebuah upaya guna melakukan transformasi pemahaman akan pentingnya wawasan kebangsaan di tengah arus globalisasi disegala bidang. Di Indonesia dengan populasi masyarakat muslim terbesar di dunia tentu saja memberi warna dalam khasanah keislaman dalam pergulatan kebangsaannya.[1]
Peran pendidikan menjadi sangat penting dalam sebuah bangsa  dalam menghadapi tantangan Zaman. Dewasa ini, di Indonesia sendiri sedang menghadapi masalah yang sangat krusial, moral bangsa kita hampir hilang entah kemana, pergaulan bebas, kriminalitas bukan  hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak mendapatkan pendidikan, tapi bahkan orang berpendidikan melakukannya lebih dari itu.
Melihat ke belakang, ada seorang tokoh yang sangat memberi peran andil dalam pendidikan di dunia islam. Seorang ulama besar yang sangat haus akan ilmu, dan pemikir ulung islam yang menjadikannnya mendapat gelar “pembela islam”(hujjatul islam), “hiasan agama”(zainuddin), ada pula orang yang memanggilnya dengan sebutan”samudra yang menghanyutkan”(bahrun mughriq), dan lain-lain[2]. Beliau adalah Al-Ghozali, seorang ulama’ besar yang sebagian beser waktunya dihabiskan untuk memperdalam khazanah keilmuan. Perhatiannya yang sangat besar kepada ilmu menjadikan Al-ghozali sebagai salah satu ulama’ islam yang banyak menelurkan hasil buah pemikirannya kedalam bentuk tulisan yang hingga saat ini masih dapat dipelajari serta dianut oleh sebagian kelompok masyarakat.
Namun demikikan, tidak ada manusia yang sempurna, begitu juga dengan Al-Ghozali, walaupun banyak orang yang menganggap membela dan menyatakan bahwa Al-Ghozali merupakan pembela islam(hujjatul islam), dan menganggap Al-Ghozali adalah manusia muslim kedua setelah nabi Muhammad SAW dalam membawa dan membimbing ummat melalui pemikiran yang masih dan tetap relevan untuk masa-masa kini(kontemporer) namun, tidak sedikit juga orang yang berasumsi bahwa pemikiran Al-Ghozali kadang bersebrangan dengan rasio. Sehingga ada yang menyatakan bahwa Al-Ghozali merupakan sumber dan pangkal kemunduran islam.
Terlepas dari pro dan kontra di atas, Al-Hozali tetap orang yang banyak memberikan perhatiannya terhadap masalah-masalah pendidikan. Indonesia bisa melihat kembali bagaimana konsep pendidikan menurut Al-Ghozali demi perbaikan pendidikan yang kian amburadul, pendidikan yang justru melahirkan orang-orang pintar tanpa memiliki moral yang baik, orang-orang pintar yang justru merugikan bangsa.
Tujuan pendidikan tampaknya menjadi suatu yang sangat penting dalam sebuah pendidikan, bahkan tujuan pendidikan merupakan masalah sentral dalam pendidikan. Sebab, tanpa peru usan yang jelas tentang tujuan pendidikan, perbuatan menjadi acak-acakan, tanpa arah, bahkan bisa sesat atau salah langkah. Oleh karena itu perumusan tujuan dengan tegas dan jelas, menjadi inti dari seluruh pemikiran pedagogis.[3]
Dari situlah, penulis akan mencoba mengulas habis bagaimana tujuan pendidikan islam menurut tokoh Al-Ghozali dan bagaimana penerapan tujuan pendidikan islam di Indonesia sendiri, adakah korelasi tujuan pendidikan islam menurut Al-Ghozali dengan realita tujuan pendidikan di Indonesia. Namun sebelum membahas hal tersebut, perlu diketahui sejarah singkat perjalanan Al-Ghozali terlebih dahulu.


B.     Sejarah Singkat Perjalanan Al-Ghozali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad abu Hamid Al-Ghozali/Ghozzali. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M, di desa Ghozalah, Thusia, wilayah Khurosan, Persia. Atau sekarang yang lebih dikenal negara Iran.[4] Ia juga keturunan Persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja saljuk yang memerintah daerah Khurosan, Jibal Irak, Jazirah, Persia, dan Ahwaz . Al-Ghozali merupakan anak seorang yang kurang mampu. Ayahnya adalah seorang yang jujur, hidup dari usaha mandiri, pemintal benang dan bertenun kain bulu (wol). Ayahnya juga sering mengunjungi rumah alim ulama’, hal ini dilakukan ayah karena ia pada dasarnya juga sangat senang menuntutu ilmu serta berbuat jasa kepada mereka.
Dia (Al-Ghozali) adalah pemikir ulung islam yang mendapat gelar “pembela islam”(hujjatul islam), “hiasan agama”(zainuddin), ada pula orang yang memanggilnya dengan sebutan”samudra yang menghanyutkan”(bahrun mughriq), dan lain-lain. Gelar tersebut disenmatkan kepada Al-Ghozali karena ia seorang yang mengabdikan hidupnya pada agama dan masyarakat baik melalui pergaulannya ketika beliau masih hidup dan lewat karya-karyanya.
Kira-kira lima tahun sebelum beliau pulang ke hadirat Allah, beliau kembali ke tempat asalnya di Thusia. Ia mengahabiskan waktunya untuk menuntut dan menyebarkan ilmu. Hal ini terbukti setelah ia kembali ke Thusia beliau membangun sebuah madrasah disamping rumahnya. Beliau juga masih sempat untuk mengajar dan menuangkan gagasan-gagasannya kedalam bentuk tulisan.
Al-Ghozali wafat pada hari Senin, tanggal 14 Jumadil al-tsani tahun 505 H/18 Desember1111 M. saat itu usia baru 55 tahun. Dan dimakamkan disebelah tempat khalwatnya. Al-Ghozali meninggalkan 3 orang anak perempuan sedang anak laki-lakinya yang bernama Hamid telah meninggal dunia semenjak kecil sebelum wafatnya (Al-Ghozali), dan karena anaknya inilah, ia di panggil “Abu Hamid” (bapak si Hamid).
C.    Tujuan Pendidikan Menurut Al-Ghozali
Tujuan Pendidikan menurut Al-Ghozali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selain untuk mendekatkan diri pada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan kemudaratan[5] .
Tujuan pendidikan diatas dirumuskan oleh al-Ghozali tersebut dipengaruhi oleh ilmu tasawuf yang dikuasainya. Dalam ilimu tasawuf, dunia dipandang shuatu hal yang tidah seharusnya dijadikan yang utama, karena dunia bukanlah yang abadi, dan tentu saja akan hilang dan rusak. Manusia di dunia ini hanya mengalami kehidupan yang sangat sebentar, bahkan manusia di dunia diibaratkan hanya mampir minum, dan maut selalu mengintai manusia kapan saja. Pasalnya kehidupan yang kekal hanyalah kehidupan di akhirat nanti, di sama manusia akan hidup kekal abadi, dan sepantasnya lah kehidupan di dunia ini digunakan untuk mempersiapkan menuju akhirat nanti. 
Bagi al-Ghozali yang dikatakan orang, yang berakal sehat adalah orang yang dapat menggunakan dunia untuk tujuan akhirat, sehingga derajatnya lebih tinggi disisi Allah lebih kebahagiaannya di akhirat. Ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan menurut al-ghozali tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia itu hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan.[6]
Dalam membentuk insan yang kamil, Al-Ghazali lebih cenderung membagi tujuan pendidikan Islam kepada tiga bagian yaitu[7]:
  1. Mempelajari ilmu pengetahuan bukan semata-mata untuk ilmu pengetahuan.
Al-Ghazali berprinsip hidup di dunia memang memerlukan pengetahuan dan keterampilan, serta dianjurkan untuk meneliti alam jagat raya, selama itu mengandung unsur nilai agama. Inilah sebabnya Al-Ghazali memberikan kajian bahwa tujuan pendidikan lslam adalah mencari ilmu bukan semata-mata untuk ilmu pengetahuan. Ilmu itu bersumber pada taqarrub ilallah. Al-Ghazali mengatakan: “Apabila engkau memandang kepada ilmu, maka engkau akan melihat kelezatan pada zatnya, oleh karena itu dicari zatnya dan kamu menjumpai (ilmu) sebagai perantara untuk menuju kampung akhirat, itu merupakan kebahagiaan dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala”
Dari ungkapan tersebut jelas menunjukkan bahwa penelitian, penalaran dan pengkajian yang mendalam dengan mencurahkan tenaga dan pikiran adalah mengandung kelezatan intelektual dan spiritual yang akan menumbuhkan ruh ilmiah. Al-Ghazali sangat menganjurkan kepada para pelajar agar menjadi orang yang cerdas, pandai berfikir, mengadakan penelitian yang mendalam dan dapat menggunakan akal pikirannya dengan baik dan optimal, untuk menguasai ilmu pengetahuan dengan sesungguhnya dan mengerti maksudnya. Dalam hal ini Amir Daien Indra Kusuma menyatakan: "Tujuan dari pendidikan kecerdasan adalah mendidik anak agar dapat berfikir secara kritis, berfikir secara logis, kreatif dan reflektif".Dapat dikatakan, bahwa aspek kecerdasan, keilmuan dan cinta kebenaran yang dikemukakan Al-Ghazali mempunyai relevansi dengan dunia pendidikan modern, karena sama-sama meng-anjurkan untuk menggalakkan penelitian dan pengembangan ilmu penge-tahuan secara luas dan merata.
  1. Membentuk akhlakul karimah.
Al-Ghazali juga memberikan gagasan tujuan pendidikan lslam ialah untuk membentuk akhlakul karimah. Al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan murid dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwa-jiwanya.
Dari pernyataan di atas, jelaslah bahwa Al-Ghazali menghendaki keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak dan kepribadian yang kuat, merupakan tujuan utama dari pendidikan bagi manusia, karena akhlak adalah aspek fundamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat maupun suatu negara. Dalam hal ini Al-Ghazali memberikan nasehat kepada murid-muridnya: ”Hai anakku! Ilmu yang tidak disertakan dengan amal itu namanya gila, dan amal tidak pakai ilmu itu sia-sia, dan ketahuilah bahwa semata-mata ilmu saja tidak akan menjauhkan maksiat di dunia ini dan tidak akan membawa kepada sebuah ketaatan, dan di akhirat kelak nanti tidak akan memelihara dan menghindarkanmu dari neraka jahannam”.
  1. Kebahagiaan dunia dan akhirat.
Menurut Al-Ghazali pencapaian kebahagiaan dunia dan akhirat merupakan tujuan pendidikan umum. Hal ini sejalan dengan pendapat para pakar pendidikan serta ada relevansinya dengan tujuan pendidikan sekarang ini. Persamaan ini terlihat dari ungkapan Al-Ghazali sebagai berikut: "Dan sesungguhnya engkau mengetahui bahwa hasil ilmu pengetahuan adalah mendekatkan diri kepada Tuhan pencipta alam, menghubungkan diri dan berhampiran dengan ketinggian malaikat, demikian itu di akhirat. Adapun di dunia adalah kemuliaan, kebesaran, dan pengaruh".
Al-Ghozali juga berkata : “hasil dari ilmu sesungguhnya ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, dan menghubungkan diri dengan para malaikat yang tinggi dan bergaul dengan alam arwah, itu semua adalah kebesaran, pengaruh, pemerintahan bagi raja-raja dan penghormatan secara naluri.” Selanjutnya dari kata-kata berikut dapat diartikan bahwa tujuan pendidikan menurut Al- Ghazali dapat dibagi menjadi dua bagian, tujujan jangka panjang dan tujuna jangka pendek.[8]
a.       Tujuan Jangka Panjang
Tujuan pendidikan jangk panjang ialah pendekatan diri kepada Allah. Pendidikan dalam prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan diri kepada Tuhan pencipta alam. Selajutnya Al-Ghazali mengutip sebuah hadis sebagai berikut. ”barang siapa menambah ilmu (keduniawian) tetapi tidak menambah hidayah, ia tidak semakin dekat dengan Allah, dan justru semakin jauh dari-Nya.” (H.R. Dailami daRI Ali) Menurut konsep ini, dapat dinyatakan bahwa semakin lama seseorang duduk dibangku pendidikan, semakin bertambah ilmu pengetahuannya, maka semakin mendekat kepada Allah. Tentu saja, untuk menentukan itu tujuan itu bukanlah sistem pendidikan sekular yamg memisahkan antara ilmu-illmu keduniaan dari nilai-nilai kebenaran dan sikap religius, juga bukan sistem islam yang konservatif. Tetapi, sistem pendidikan yang integral. Sistem inilah yang dapat membentuk manusia melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan.
b.      Tujuan Jangka Pendek
Menurut Al-Ghazali, tujuan pendidikan jangka pendek ialah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Selanjutnya Al-Ghazali juga menyinggung masalah pangkat, kedudukan, kemegahan, popularitas, dan kemulian dunia secara naluri. Semua itu bukan merupakan tujuan dasar seseorang yang melibatkan diri di dunia pendidikan. Seorang penuntut ilmu, seorang yang terdaptar sebagai siswa, mahasiswa, dosen, guru dan sebagainya, mereka akan memperoleh derajat, pangkat, dan segala macam kemulian hendak meningkatkan kualutas dirinya melalui ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan ituuntuk diamalkan. Karena itulah, Al-Ghajali bahwa langkah seseorang dalam belajar adalah untuk mensucikan jiwa dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela, dan motivasi pertama adalah untuk menghidupkan syariat dan misi Rasulallah, bukan untuk mencari kemegahan duniawi, mengejar pangkat, atau popularitas.
Dari pemaparan diatas dapatlah disimpulkan bahwa tujuan pendidika menurut AL-Ghazali adalah. Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara kepada pendekatan diri kepada Allah, dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara kepada kebahagian dunia dan akhirat.
D. Tujuan Pendidikan Menurut Al-Ghozali VS Tujuan Pendidikan Indonesia
            Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Pasal 3 dijelaskan bahwa: “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlah mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.[9]
            Kita lihat kembali juga tujuan Pendidikan menurut Al-Ghozali, “Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara kepada pendekatan diri kepada Allah, dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara kepada kebahagian dunia dan akhirat”.
            Dari uraian diatas bisa dilihat bahwa, tujuan pendidikan di Indonesia sudah sangat sesuai dengan tujuan  pendidikan menurut Al-Ghozali, yang tujuannya menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kesepadanan tersebut tampak UU No 20 tahun 2003 pasal 3 yang menyatakan “agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlah mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri” dan menurut Al-Ghozali, “bermuara kepada pendekatan diri kepada Allah dan kebahagian dunia dan akhirat”.
            Melihat kesesuaian tujuan pendidikan di Indonesia dengan tujuan orang-orang muslim pada umumnya, tentu seharusnya Indonesia seharusnya kini sudah menjadi negara yang maju tekhnologi dan agamanya. Tapi, pada kenyataannya, Indonesia masih menjadi negara yang terbelakang tekhnologinya, terbelakang agamanya. Pertanyaannya, apakah pendidikan di Indonesia telah kehilangan sebagian fungsi utamanya? Inikah hasil dari proses pendidikan, yang seharusnya menjadi alat transformasi nilai-nilai luhur peradaban? Jangan-jangan pendidikan kita telah tereduksi menjadi alat yang secara mekanik hanya menciptakan anak didik yang pintar menguasai bahan ajar untuk sekadar lulus ujian nasional. Bahkan pendidikan nasional, menurut banyak kalangan, bahkan hanya belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan anak didik, melainkan gagal dalam membentuk karakter dan watak kepribadian, bahkan terjadi adanya degradasi moral.[10]
            Karakter bangsa terbentuk oleh berbagai sumber nilai, yaitu nilai-nilai lokal, nilai-nilai ke-Indonesiaan, nilai agama, dan akhir-akhir ini dengan keterburukan informasi sebagai akibat terjadinya revolusi komunikasi, maka muncul sumber nilai lainnya yang juga sangat dominan ialah nilai-nilai global. Pengaruh global itu ikut mewarnai seluruh kehidupan, termasuk masyarakat yang tinggal di pedesaan sekalipun.
            Maka dari itu, untuk memperkuat pilar-pilar di dalam transformasi nilai-nilai pendidikan sekiranya patut disikapi sebagai tuntutan di tengah tantangan kehidupan: antara membangun karakter dan kepribadian unggul dengan konteks gemuruh globalisasi. Pendidikan islam dinilai dapat menjadi solusi mendasar untuk menjawab permasalah tersebut. Dengan pendidikan islam dapat menanamkan nilai-nilai ajaran agama islam untuk menuju pada tingkat membentuk kepribadian yang utama, yaitu kepribadian muslim yang mencapai kehidupan dunia dan akhirat.[11]
            Tentu, tujuan pendidikan menurut Al-Ghozali sangatlah cocok untuk di terapkan di dunia manapun, termasuk Indonesia, dizaman kapanpun termasuk zaman globalisasi saat ini. Pertanyaanya, mengapa Indonesia belum mencapai itu?
E. Penutup
            Menurut Al-Ghozali pendidikan yang sesungguhnya adalah yang memiliki tujuan agar manusia menjadi orang yang beriman kepada Allah, dan selalu menyerahkan semuanya kepada-Nya. Namun demikian, beliau tidak sama sekali menistakan dunia, bahwa antara dunia dan akhirat haruslah dijalankan secara seimbang, dan perjalanan dunia dijadikan sebagai jalan menuju akhirat.
           










Daftar Pustaka
Dr. Jalaluddin, Drs. Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1994
Drs. Sabarudin, M.Si, Masroer, M.Si., Islam, National Charakter Building, dan Etika Global, Yogyakarta: Bagian Kemahasiswaan UIN Sunan Kalijaga, 2010
Prof. DR. H. Ramayulis, DR. Samsul Nizar, MA, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2009
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


[1] Drs. Sabarudin, M.Si, Masroer, M.Si., Islam, National Charakter Building, dan Etika Global, Yogyakarta: Bagian Kemahasiswaan UIN Sunan Kalijaga, 2010. Hlm. 15
[2] http://munzaro.blogspot.com/2010/10/knsep-pendidikan-islam-menurut-al.html
[3] Prof. DR. H. Ramayulis, DR. Samsul Nizar, MA, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2009, hlm. 117
[4] Dr. Jalaluddin, Drs. Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1994, hlm.139
[5] Prof. DR. H. Ramayulis, DR. Samsul Nizar, MA, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 273
[6]Ibid, hlm. 273
[9] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[10] Drs. Sabarudin, M.Si, Masroer, M.Si., Islam, hlm. 52
[11] Ibid, hlm. 52
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Powerade Coupons